countdown timer

  • Ilustraza Peduli Bencana Merah Putihku Indonesia [Mentawai&Merapi] (untuk itu kami membuka Dompet Peduli Bencana Alam. gelombang pertama 28 Oktober - 2 November 2010 gelombang kedua 3 - 8 November 2010

Tuesday, May 26, 2009

Refleksi Tanah Kelahiran

“The most valuable of all capital is that invested in human beings”
(Theodore W. Schultz, Nobel Winner for Economics, 2007)

Robert Solow pun mengajukan hal yang sama dalam teory pertumbuhan ekonomi. Pun demikian halnya Paul Romer, yang kita kenal dengan Endogenous growth theory. Ketiganya serupa, meskipun dengan transmisi yang berbeda, bahwa pendidikan sangatlah positively correlated dengan pertumbuhan. Tenang, saya tidak ingin berceloteh tentang berbagai teori ekonomi. Saya hanya ingin mencoba merefleksikan apa yang saya amati tentang tempat kelahiran saya. Tepatnya, 'sesuatu' tentang probolinggo, 100 kilometer arah tenggara Surabaya.

Terakhir kali pulang ke tanah kelahiran tahun lalu, memang pembangunan telah cukup maju terlihat, tercermin dari masuknya salah satu Hypermarket di sana. Pun beberapa infrastruktur tampak mulai lebih baik. Sayangnya, satu hal krusial yang tidak maju secepat pembangunannya, kualitas sumber daya manusia.

Masih teringat guyonan saya dan teman2 semasa SMA. Konon, kabupaten Probolinggo merupakan daerah dati II dengan pendidikan tertinggi kedua di Jawa Timur. Serius? Ya, dari bawah. Terlepas ini benar atau tidak, kenyataan memang mau tidak mau berbicara demikian. RKPD 2008 menunjukkan bahwa masih banyak anak didik yang seharusnya memasuki jenjang pendidikan berikutnya ternyata masih duduk dibangku SD. Lebih jauh lagi, APK untuk SLTA sebesar 48,09 % yang artinya bahwa masih ada anak yang belum memperoleh kesempatan pendidikan baik ditingkat lanjutan pertama maupun lanjutan atas. Tidak mengherankan, vicious circle teraplikasikan. Tingkat kemiskinan mencapai 40 persen.

Padahal, saya haqqul yakin bahwa banyak SDM Probolinggo berkualitas yang terbentuk. Masih segar di ingatan saya, beberapa waktu yang lalu saat mendaftarkan adik ke bimbel NF untuk persiapan UMB. Saya katakan bahwa saya dan adik berasal dari probolinggo. Serta merta, sang koordinator yang sedang berbicara kepada saya nyeletuk bahwa ada sebuah sekolah unggulan di sana, namanya SMA Taruna. Dengan bangga saya katakan, ya...kami berdua dari sana. Sayangnya, disparitas ekonomi-spasial menganga lebar. Akibatnya, bukannya spillover effects yang terjadi, sebaliknya backwash effects yang muncul. SDM berkualitas tersedot ke kota-kota besar yang tumbuh pesat, menyisakan SDM 'biasa saja' di daerah asal. Sang SDM berkualitas, setelah melanjutkan pendidikan tinggi, cenderung tidak kembali. Alasan klasik, gap gaji yang begitu besar.


Sampai titik ini, saya bukan ingin menjustifikasi siapa yang benar dan siapa yang salah. Tidak, bukan itu. Kalau boleh saya ulang pernyataan di awal, ini hanya sebuah refleksi dari sebuah pengamatan sekilas. Masih debatable. Yang ingin saya ajukan adalah apa yang bisa kita berikan dan sumbangkan sehingga 30 tahun lagi misalnya, anak cucu kita ketika ada orang bertanya tentang asal usulnya, dengan bangga menjawab, "saya anak Probolinggo dan saya bangga karenanya"


Yudhis
'anak desa yang masih menyimpan keinginan untuk kembali'

sumber : taruna-dz@yahoogroups.com(sampeyan_sopo@yahoo.com)
---------------------------------------------
Mulailah dari bagian terkecil ...
sejahterakan diri sendiri terlebih dahulu...
jangan sampai seperti kacang melupakan kulitnya...
kalau bukan kita siapa lagi...
jadilah generasi perubahan...
berani untuk membebaskan diri dari tirani..

0 komentar:

Kirim Pesan untuk Alumni Tersayang



nb:cek [older messages] di menu "Kirim Pesan untuk Alumni Tersayang" untuk menemukan pesan dari teman anda.
 

ganesha alfian pranayoga | paramita tri ratna